Jumat, 07 Maret 2014

Sahabatku

Di pagi hari yang cerah di sebuah kompleks perumahan di daerah Bogor, terdapat sebuah keluarga yang baru menempati rumah barunya.
Diah    : “Ahh akhirnya sampai juga!”
Papah  : “Nah, karena sudah sampai. Sekarang bawalah barang-barangmu ke kamar di sebelah sana, itu akan menjadi kamar barumu!” (sambil menunjuk ke arah kamar baru yang akan ditempati Diah)
Diah    : “Aku malas pah, nanti sajalah mamah yang bawa ke kamarku, aku...”

Tiba-tiba, handphone papah berbunyi. *kring kring*
Papah  : “Sebentar ya nak, papah ada telepon.”

Selagi papah menerima telepon, mamah datang dan membantu Diah merapihkan barang-barangnya.
Mamah  : “Ayo kita bawa barangmu ke kamar”
Diah      : “Gak mauuu, aku capek mah! Lebih baik mamah saja yang bawa!”
Mamah  : “Jadilah anak yang baik nak, bawalah barang-barangmu sendiri, mamah akan membantumu untuk merapihkannya nak?”
Diah      : “Iya iyaa” (berjalan malas menuju kamar)

Saat di kamar
Mamah  : “Hallo... Ah iya iya... Saya akan segera datang...!” (mematikan handphone) “Maaf          nak, sepertinya mamah tidak bisa membantumu merapihkan barang-barangmu,   tiba-tiba ada urusan mendadak yang penting dan mengharuskan mamah pergi ke            butik sekarang! Maaf ya nak, kamu harus merapihkannya sendiri”
Diah      : “Ehmm... iyaa -_-“
Mamah  : “Jaga dirimu baik-baik, mamah pergi dulu”

Saat mamah ingin membuka pintu kamar, tiba-tiba muncullah papah dari luar kamar menghampiri mereka berdua.
Papah    : “Kamu mau kemana mah?”
Mamah  : “Aku harus ke butik sekarang pah, ada urusan mendadak”
Papah    : “Lebih baik kita berangkat bersama, aku juga ingin pergi ke kantor sekarang”
Mamah  : “Baiklah”
Papah    : “Nak, papah dan mamah pergi sebentar ya. Kami ada urusan mendadak, baik-baiklah di rumah”
Diah      : “Iya -_-“

Sepeninggalan orang tuanya, Diah tetap diam di kamar tanpa melakukan apapun, pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan pun ia tinggalkan. Diah merasa kecewa kepada orang tuanya, dia tidak pernah mendapat kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya.
Diah    : “Aisshh! Kenapa sih, mamah sama papah gak pernah ada buat aku? Mereka selalu saja memikirkan pekerjaannya! Masalah kantornya! Kapan mereka ada buat aku?”

Usai berbicara seperti itu Diah merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, ia merasa sangat pusing. Karena rasa sakitnya yang tidak dapat ditahan ia pun pingsan di dalam kamarnya.
Keesokan harinya saat Diah sudah sadarkan diri, ia langsung melesat ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya lalu kembali ke kamarnya untuk beristirahat lagi.
Diah    : “Sebegitu sakitnya kah? Sampai aku pingsan dan bangun pada pagi hari?”

Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamar diah. *Tokk tokk tokk*
Papah  : “Nak, buka pintunya. Papah membawa seseorang untuk kamu”
Diah    : (membuka pintu) “Ada apa  pah?”
Papah  : “ Papah membawa seseorang untukmu”
Diah    : “Ini siapa pah?”
Papah  : “Ini adalah bu Siti, ia akan menjadi orang yang menjagamu saat papah dan mamah sedang bekerja atau sedang tidak ada di rumah.”
Bu Siti : “Selamat pagi non Diah, nama saya Siti”
Papah  :” Ia juga memiliki anak perempuan yang seumuran denganmu, jadi berakrablah dengan mereka”
Diah    : “Oh yaudah, udah kan? Terus apa lagi?”
Papah  : “Sopanlah sedikit nak!”
Diah    : “Baiklah”
Bu Siti : “Tak apa tuan, saya mengerti kok”
Papah  : “Kalau begitu, sekarang papah akan pergi ke kantor bersama mamah. Baik-baiklah dengan bu Siti, bu Siti saya tinggal ya”
Bu Siti : “Baik tuan”
Diah    : “Hati-hati papah”
Papah  : “Iya”

Tak lama setelah papah pergi ke kantor bersama mamah, Diah kembali ke posisinya semula, yaitu berbaring.
Diah    : “Sekarang ibu boleh keluar”
Bu Siti : “Non tidak ingin ibu buatkan sesuatu? Non kan belum sarapan pagi ini?”
Diah    : “Oh iya, tolong buatkan aku milkshake saja bu”
Bu Siti : “Baiklah non” (berjalan keluar dari kamar Diah)

Keesokan harinya saat Diah sedang menikmati udara pagi hari di halaman belakang rumahnya, tiba-tiba ia melihat seorang anak perempuan yang sedang melukis. Ia memerhatikan gerak-gerik tangan anak perempuan itu, sampai akhirnya ia duduk di sebelah anak  perempuan itu.
Diah    : “Gambar apa anak ini? Gak jelas banget gambarnya, abstrak!” (bergumam)
Dea     : “Oh! Siapa itu?” (mencari-cari sumber suara tersebut)
Diah    : “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!”
Dea     : “Oh maaf, kamu anak pemilik rumah ini ya?”
Diah    : “Iya, kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada disini?”
Dea     : “Aku Dea, aku anaknya bu Siti”
Diah    : “Oh anaknya bu Siti toh, kamu sedang melukis apa?”
Dea     : “Aku sedang melukis suasana hatiku pagi ini, kenapa?”
Diah    : “Tak apa, hanya saja... Lukisanmu sedikit berantakan, gak liat apa kalau di sisi ini ada warna yang tercampur?”
Dea     : “Benarkah? Maaf, tapi aku tidak dapat melihat, jadi aku tak mengetahuinya”
Diah    :”Hah? Jadi kamu buta?”
Dea     : “Iya”
Diah    : “Kenapa papah nyuruh aku akrab sama orang buta sih, kayak gak ada yang lain aja?” (berguman)
Dea     : “Kamu sedang apa disini?”
Diah    : “Aku hanya menikmati udara pagi saja,tapi malah ada kamu disini”
Dea     : “Maaf, tapi aku tak akan mengganggumu”
Diah    : “Ya iyalah, mana mungkin orang buta bisa menggangguku? Aneh-aneh sa... Arggh!” (kesakitan sambil memegang kepala)
Dea     : “Kamu kenapa?”
Diah    : “Aku tak apa-apa, hanya pusing saja”
Dea     : “Sini, biar aku antar kamu ke kamar” (memegang pundak Diah)
Diah    : “Tidak usah! (mengelak) Mana mungkin orang buta sepertimu dapat menolongku! Aku akan pergi sendiri” (pergi ke kamar)
Dea     : “Baiklah jika itu maumu”

Berhari-hari Diah dan Dea melewati harinya bersama, jika Diah sendiri di rumah pasti bu Siti dan Dea akan menemaninya. Semakin hari perlakuan Diah ke Dea semakin baik, yang dulu Diah sering menghina Dea karena kekurangannya lalu meninggalkannya sendiri, tapi sekarang Diah selalu bersama Dea dimanapun mereka berada.
Diah    : “Hari ini kamu melukis apa?”
Dea     : “Entahlah, aku bingung”
Diah    : “Kamu bingung kenapa?”
Dea     : “Aku dengar ada yang mengadakan perlombaan melukis, syarat utama untuk mengikutinya adalah tidak buta warna, sedangkan aku? Bukan buta warna lagi yang kurasakan, tapi buta kehidupan!”
Diah    : “Ih, kamu gak boleh ngomong kayak gitu!”
Dea     : “Memang kenyataanya kayak gitu kok”
Diah    : “Iya sih, kok kamu bisa sama sih pemikirannya sama aku?”
Dea     : “Kokk sama?”
Diah    : “Iya sama, kita itu sama-sama lebih memilih menyerah duluan daripada mencoba dulu. Padahalkan sama yang terjadi nanti belum tentu sama dengan harapan atau omongan kita. Contohnya aku, dulu aku berfikir kalau akau ini bakal bahagia jika papah dan mamah ku seorang pengusaha. Aku berfikir aku bisa setiap hari bersama mereka, tapi nyatanya? Mereka tidak pernah memikirkanku ataupun peduli denganku. Mereka hanya memikirkan pekerjaan mereka, mereka gak sayang sama aku!”
Dea     : “Kamu gak boleh berfikir kayak gitu diah, mereka bekerja juga kan untuk membesarkanmu, untuk kehidupanmu juga. Kamu harus yakin kalau mereka itu memang bener-bener sayang sama kamu walaupun mereka terus meninggalkanmu demi pekerjaan mereka J
Diah    : “Iyaa. Ihh kok jadi ngomongin aku sih? Cari topik lain. Oh ya memang kapan perlombaannya dilaksanakan?”
Dea     : “Hehe iya juga ya, maaf deh. Nanti, tanggal 20 maret”
Diah    : “Emm gitu ya? Kamu berdoa aja dari sekarang, pasti kamu bisa ikut lomba itu      kok!”
Dea     : “Caranya gimana?”
Diah    : “Aku gak tau, tapi aku yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya! Jadi jangan putus asa oke!”
Dea     : “Oke!”
Diah    : “Itu baru sahabatku J

Tiba-tiba
Bu Siti : “Non Diah, makan siang sudah siaaap!”
Diah    : “Iya bu, ayo Dea kita makan siang”

Saat  sore tiba, tiba-tiba Diah merasakan pusing lagi. Tapi kali ini ditambah dengan keluarnya darah dari kedua lubang hidung Diah, Diah yang merasa panik pun dengan cepat mengambil kain yang ada di dekatnya.
Diah    : “Arggh!! Kenapa iniii?” (kesakitan)

Dengan nekat, ia pun pergi keluar rumah dan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya ke dokter dimas, dokter dimas adalah dokter kepercayaan orang tuanya, atau biasa disebut dokter keluarga.
Setelah selesai memeriksa keadaan Diah.
Dokter Dimas  : “Kenapa bisa terjadi seperti ini Diah? Sudah berapa lama kamu seperti                 ini?” (panik)
Diah               : “Diah juga gak tahu dok kenapa Diah bisa kayak gini, tapi Diah ngerasain ini udah dari beberapa bulan yang lalu yang lalu dok”
Dokter Dimas  : “Tapi kenapa kamu baru memeriksanya sekarang?’
Diah               : “Karena Diah fikir ini hanya pusing biasa, jadi Diah diemin aja deh dok”
Dokter Dimas  : “Saya harus berbicara ke orang tuamu tentang masalah ini”
Diah               : “Memang ada apa dengan Diah dok? Papah dan mamah sedang keluar                                 kota”
Dokter Dimas  : “Maaf, tapi saya hanya bisa membicarakan penyakitmu ini ke orang tuamu saja, tidak terhadapmu”
Diah                            : “Hah? apa dok? Penyakit? Memangnya Diah punya penyakit apa dok? Kasih tahu Diah dok!”
Dokter Dimas            : “Saya ingin memberi tahu ini kepada mu, tapi saya tidak janji jika ini tak akan membuatmu syok!
Diah              : “Bicara saja dok, Diah siap menerimanya apapun yang terjadi”
Dokter Dimas : “Kamu menderita kanker otak stadium akhir nak, diperkirakan umurmu hanya akan bertahan sampai akhir bulan ini saja”
Diah              : Apa? Kanker otak dok?”
Dokter Dimas : “Iya,dan lebik baik kamu menceritakan hal ini kepada orang tuamu”
Diah              : “Jangan! Jangan dok, Diah mohon. Usahakan yang tahu tentang penyakit ini hanya Diah dan dokter saja,Diah gak mau bikin papah sama mamah khawatir”
Dokter Dimas :”Baiklah kalau begitu, tapi kau harus meminum obat yang telah ku siapkan” (memberikan resep obat).

Dari hari ke hari kondisi tubuh Diah semakin menurun, badanya tidak seperti dulu lagi. Wajahnya menjadi tirus,dan kulitnya semakin pucat.
Disaat kondisi rumahnya sepi, ia menyempatkan diri untuk menangis. Karena ini adalah kesempatan Diah untuk mengeluarkan semua kesediahannya, karena Diah tidak mau terlihat sedih di depan kedua orang tuanya,bu Siti apalagi Dea.
Ia tidak ingin ada orang yang tahu bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, apalagi menangisi kepergiannya yang sebentar lagi akan datang. Disela tangisnya, ia menyempatnkan untuk menulis surat kepada orang tuanya dan Dea.

“Ya tuhan, aku tahu umurku tidak panjang lagi, tapi aku mohon, aku hanya ingin orang-orang yang aku sayangi tersenyum dan bahagia walau bahagia yang sederhana. Aku tidak ingin mereka menangis hanya karena melihatku seperti ini...”

Tak lama kemudian, ada seseorang yang memanggil Diah di depan pintu kamarnya, yaitu Dea.
Dea     : “Diah, kita ke taman yukk!”
Diah    : “Emm? Baiklah, oh iya sekalian aku juga ingin menunjukan ponsel baruku ke           kamu”
Dea     : “Wahh, yasudah cepat”
Diah    : “Iyaa”

Saat di taman...
Diah    : “Duduklah disini” (duduk)
Dea     : “Kamu kenapa sih hari ini? Kok gak kaya biasanya? Suara kamu jadi serak gitu, kamu habis nangis ya? Cerita dong ke aku! Kamu ada masalah apa?’
Diah    : “Aku gak nangis kok, cuma aku lagi sedikit flu aja”
Dea     : “Oh, kamu gak bohong kan sama aku?”
Diah    : “Emm Dea, apa yang bakal kamu lakukan kalau orang terdekat kamu pergi? Emm, misalnya aku?”
Dea     : “Mungkin aku akan sedih, bisa-bisa aku akan menangis, kenapa kamu nanya kayak gitu ke aku? Tumben banget?”
Diah    : “ Iseng aja kok, tapi gimana kalau itu terjadi beneran?”
Dea     : “Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti? Memangnya kamu mau ninggalin aku?”
Diah    : “Gak, gak apa apa kok Dea”
Dea     : “Aku gak yakin, kamu pasti nyembunyiin sesuatu dari aku!”
Diah    : “Enggak kokk,”
Dea     : “Kamu yakin?”
Diah    : “Emm... Jika suatu saat kita berpisah, aku harap kamu gak akan ngelupain aku. Aku mau nanti kamu punya temen yang lebih baik dari aku, yang bisa menjaga kamu lebih dari akku menjagamu, kamu harus janji sama aku, kamu gak akan pernah mengeluarkan air mata kamu hanya buat sesuatu masalah kecil, janji?”
Dea     : “Janji!” (menautkan jari kelingking)
Diah    : “Kita foto yuk Dea,”
Dea     : “Boleh J
Diah    : “Satu... Dua... Tiga...!” *klik*
Dea     : “Bagus gak?”
Diah    : “Bagus banget!” (sambil meneteskan air mata)

Seketika suasana menjadi hening
Diah    : (menghapus air mata) “Jika kamu kangen sama aku, tutup matamu lalu ingatlah aku. Aku pasti ada di sisimu”
Dea     : “Iya J
Diah    : “Udah mau malam nih, pulang yuk!”
Dea     : “Yaudah ayo!”

Malam pun tiba, Diah masuk ke dalam kamarnya untuk bergegas tidur. Tapi belum juga ia menginjakkan kakinya di lantai kamarnya, ia sudah diserang rasa pusing yang sangat sakit, dan akhirnya ia pun pingsan di depan pintu kamarnya. Bu Siti yang melihat kejadian itu buru-buru memanggil ambulans dan menelpon kedua orang tua Diah, ia sangat panik.
Bu Siti : “Non, non Diah bangun non” (panik)

Saat di rumah sakit
Tak lama, setelah dapat telepon dari bu Siti, orang tua Diah datang dengan wajah cemas, bahkan sang mamah sudah meneteskan air matanya. Tak lama dokter dimas pun keluar dari ruang UGD.
Mamah            : “Bagaimana keadaannya dok?”
Dokter Dimas  : “Maaf, tapi saya sudah bekerja semaksimal mungkin. Kita boleh berencana tapi tuhan yang memastikan, Diah tidak dapat diselamatkan”
Papah              : “Kenapa bisa? Memang ia kenapa dok? Apa yang terjadi dengan dia dok?”
Dokter Dimas  : “Diah  mengidap penyakit kanker otak sejak beberapa bulan yang lalu, maafkan saya yang tidak memberi tahu kalian tentang hal ini, karena Diah meminta saya agar merahasiakannya. Dan ini Diah sudah menitipkan surat untuuk kalian.”

Mamah dan Papah pun membaca surat dari Diah yang diberi dokter untuk mereka, surat itu berisi:

“Papah mamah ini Diah, Diah anak papah dan mamah.
Diah yang selalu melawan omongan papah sama mamah
Diah yang marah-marah terus sama papah dan mamah
Mungkin saat papah dan mamah baca surat ini
Diah udah gak ada di sisi kalian
Diah udah pergi jauh dari kalian
Diah udah tenang walau jauh dari kalian
Diah udah ada di surga pah mah
Papah mamah, maafin semua kesalahan Diah ya
Maafin semua kata-kata yang keluar dari bibir Diah
Diah tau papah sama mamah pasti pernah merasa marah sama Diah Bahkan benci sama Diah, atas semua kelakuan Diah
Nah mulai besok gak akan ada lagi orang yang selalu merengek ke papah dan mamah
Gak akan ada lagi yang ganggu papah sama mamah saat kerja
Gak akan ada lagi orang yang merepotkan papah dan mamah
Dan gak akan ada lagi orang yang selalu marah karena pekerjaan papah dan mamah
pernah diah berfikir untuk membenci papah dan mamah, karena kalian melupakan diah demi pekerjaan kalian. Tapi dea mengingatkan diah, dea bilang papah dan mama bekerja untuk membesarkanku, untuk kehidupanku juga. diah harus yakin kalau papah dan mamah itu memang bener-bener sayang sama diah walaupun mereka terus meninggalkan diah demi pekerjaan papah san mama. Maka mulai saat itu diahpun memutuskan untuk terus sayang kepada papah dan mama tanpa ada fikiran untuk membenci papah dan mama J
Terima kasih atas semua kasih sayang kalian
Terima kasih karena telah mendidikku
Terima kasih karena telah mau membesarkanku hingga saat ini
Dan terima kasih mamah karena mamah mau melahirkanku ke dunia yang indah ini
Mungkin kepergianku ini memang tiba-tiba Tapi aku telah merencanakan semua
Semua hal yang akan mamah dan papah lakukan setelah aku tiada
Dan semua hal yang telah aku inginkan terjadi saat aku pergi
Saat ini aku hanya ingin mengutarakan permintaan trerakhirku kepada kalian
Aku ingin saat aku telah tiada papah dan mamah mau mendonorkan mataku ini untuk Dea
Aku mau Dea merasakan melihat indahnya dunia lagi
Dan ku harap papah dan mamah tidak memberi tahu tentang hal ini kepada Dea
Di samping itu aku, aku juga telah menyiapkan surat untuk Dea
Aku ingin papah dan mamah memberikan surat itu kepada Dea
Kuharap papah dan mamah memberikannya disaat Dea dapat melihat lagi
Dan aku ingin Dea yang membacanya langsung dengan mata yang telah kudonorkan
Papah mamah, terima kasih atas semuanya.
Maafkan aku yang tidak memberi tahu kalian tentang penyakit ini
Aku tidak ingin kalian sedih dan khawatir dengan kondisiku
Aku masih ingin melihat kalian tersenyum disisa hidupku
Aku harap dipemakaman aku nanti tidak ada satu orangpun yang mengeluarkan setetespun airmatanya atas kepergianku
Aku tahu ini menyakitkan, Tapi aku mohon kalian bertahan demi ketenanganku
Aku yakin suatu saat nanti kita dapat bertemu lagi walaupun di dalam dunia yang berbeda
Aku harap kalian tidak menyesal karena telah menjadi orang tua dari anak sepertiku
Aku sayang kallian

Diah”

Seusai membaca surat dari Diah, air mata mamah bertambah deras mengingat semua kesalahannya yang telah menelantarkan anak semata wayangnya demi sebuah pekerjaan.
Orang tua Diah dan bu Siti pun bergegas pulang untuk menyiapkan acara pemakaman Diah yang akan dilaksanakan esok hari.
2 haru kemudian
Sudah 2 hari Dea tidak mendengar kabar dari Diah, ia sangat panik akan keadaan sahabatnya tersebut. Ia takut ada sesuatu yang buruk menimpa Diah, dan akhirnya pun ia memutuskan untuk bertanya ke ibunya.
Dea     : “Ibu, apa ibu tahu kabar Diah sekarang?”
Bu Siti : “Memang ada apa nak?”
Dea     : “Tidak ada apa-apa bu, hanya saja aku merasa khawatir dengan kondisinya saat ini. Ia tidak memberiku kabar sejak 2 hari yang lalu?”
Bu Siti : “Sudah tak usah kau fikirkan, mungkin ia sedang sibuk. Lebih baik kita bicarakan soal operasi mata yang akan kamu lakukan besok”
Dea     : “Operasi mata? Memang sudah ada yang mendonorkan matanya untukku bu?”
Bu Siti : “Sudah ada nak, dan ia adalah orang baik”
Dea     : “Wah, kalau begitu bagus bu, jam berapa aku akan operasi? Aku sudah tidak sabar ingin melihat lagi”
Bu Siti : “Besok jam 9 pagi nak”
Dea     : “Wah, kalau begini pasti aku tak akan kesusahan lagi untuk melukis, tanpa harus diprotes sama Diah karena ada warna yang tercampur J
Bu Siti : “Iya” (meneteskan air matanya)

Seminggu kemudian di area perlombaan melukis
Dea     : “Bu tolong doa kan Dea ya, agar Dea menang”
Bu Siti : “Iya nak, ibu pasti mendoakanmu”
Dea     : “Aku harus memenangkan perlombaan ini, aku ingin menunjukkan kepada Diah kalau aku ini pelukis yang baik”

Dengan bersungguh-sungguh Dea mengikuti perlombaan itu, ia ingin Diah melihat lukisan pertamanya usai operasi mata.
2 hari kemudian
Inilah saat-saat yang ditunggu oleh Dea, hari ini adalah hari pengumuman pemenang lomba melukis kemarin. Dan tidak disangka memang pemenangnya adalah Dea, Dea berteriak bahagia menghampiri ibunya di dapur.
Dea        : ” Buuu, dea menang bu dea menang!” (memeluk ibunya dengan bahagia)
Bu Siti : ”Alhamdulilah nak, ternyata kerja kerasmu tidak sia-sia” (membalas pelukan      anaknya)
Dea       : ”Iya bu, bu diah mana ya? Aku ingin memberitahunya atas kemenanganku ini” (melepas pelukan ibunya dan menatap ibunya dengan serius)
Bu Siti   : ”Diah emm, diaah...” (bingung memikirkan jawaban dari pertanyaan anaknya)
Dea       : ”Iya Diah kemana bu? Diah ada dimana?”
Bu Siti   : “Lebih baik kau tanyakan saja langsung pada orang tua Diah, biar mereka yang menjelaskannya”
Ddea   : “Kok gitu bu? Emang kenapa? Ada apa sama Diah bu?”
Bu Siti : “Pergilah ke rumahnya nak

Bu siti tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya, akhirnya Dea pergi meninggalkan ibunya dan mencari Diah, dan Dea menghampiri mamahnya Diah yang sedang duduk di ruang tamu sambil meminum segelas teh hangat.
Dea        : “Permisi nyonya”
Mamah  : “Ada apa Dea?”
Dea        : “Aku ingin tanya soal keadaan Diah”
Mamah  : “Boleh, oh iya bagaimana hasilnya? Apa kamu menang?” (mengalihkan                   pembicaraan)
Dea       : “Alhamdulillah nyonya, saya menang J
Mamah  : “Kamu hebat Dea”
Dea       : “Nyonya, bagaimana keadaan Diah sekarang? Apa sekarang Diah sedang sakit? Aku tidak mendapatkan kabar darinya sejak 1 minggu yang lalu”
Mamah  : “Diah... Diah menitipkan surat untukmu. Ini” ( memberikan surat)
Dea       : “Oh memangnya Diah sedang kemana bu? Tumben sekali ia menulis surat?"
Mamah  : “Diah sedang pergi nak”
Dea       : “Pergi? Sejak kapan dia pergi? Kok gak bilang-bilang ke Dea? Dasar Diah -_-“
Mamah  : “Bacalah dulu surat ini di rumah, baru kau tahu kemana dia pergi”
Dea       : “Baiklah, kalau begitu saya permisi. Terima kasih bu”

Sesampainya di rumah, dea pun langsung membaca surat yang dibuat diah untuknya. (membaca surat)

“Hai dea! Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik aja sekarang.
Maafkan aku dea karena aku tidak berterus terang ke kamu tentang penyakitku ini.
Sebenarnya selama ini aku sudah mengidap penyakit kanker otak.
Dan dokter memvonisku bahwa aku hanya bisa bertahan sampai akhir bulan ini saja.
Maafkan aku yang tidak bisa bermain lagi sama kamu
Tapi aku sangat berterima kasih kepadamu dan bu siti karena masih mau berakrab denganku yang jelas-jelas jahat kepadamu pada awal pertemuan.
Aku berterima kasih padamu karena mengingatkanku untuk tidak membenci kedua orang tuaku, aku akan selalu mengingat kata-katamu dea.
Oh iya, bagaimana rasanya melihat mmenggunakan mataku? Enak kan?
Aku yakin saat kamu melihat tulisanku di atas kamu pasti kaget.
Ya aku sengaja mendonorkan mataku untukmu, aku ingin kamu bisa melihat lagi
Melihat indahnya dunia dan dapat menjadi pelukis yang hebat.
Bagaimana dengan lomba melukis yang kamu ikuti?
Aku yakin kamu pasti menang!
Karena dari siinipun aku selalu mendoakanmu agar menjadi yang terbaik J.
Dea, aku ingin kamu menjaga mataku dengan baik
Aku ingin kau selalu merasakan adanya diriku walaupun sebenarnya jarak di antara kita sangatlah jauh deaaa
Nah selain itu aku juga telah mencetak foto kita
Kamu ingat kan saat kita berfoto di taman? Kau pasti ingat
Karena saat itu adalah hari terakhirku bertemu denganmu
Dan hari terakhirku hidup di dunia ini
Itu adalah satu-satunya foto yang kita punya, aku mau kamu menjaga foto itu sama dengan menjaga mataku.
Kamu ingat kata-kata yang pernah aku katakan kepadamu?
Ingatlah, jika kamu kangen sama aku,tutup matamu lalu ingatlah aku. Aku pasti ada disisimu
Jangan sedih ya hanya karena aku pergi meninggalkanmu, aku gak mau wajahmu menjadi jelek hanya karena menangisiku
Terima kasih karena kamu mau jadi sahabatku walau dalam waktu yang sebentar dea.
Aku sayang kamu J

Diah”

Air mata Dea tak dapat dibendung lagi, ia sangat tidak dapat mempercayakan ini. Ia tidak menyangka kalau selama ini Diah yang dia kenal sebagai perempuan yang riang ternyata memendam rasa sakit yang sangat parah karena penyakitnya itu dan pergi meninggalkan dirinya begitu cepat.
Bu Siti yang menyadari perubahan suasana hati anaknya seusai membaca surat dari Diah pun langsung menghampiri Dea untuk menenangkannya.
Bu Siti : “Sudah nak ikhlaskan saja”
Dea     : “Kenapa ibu gak bilang ke Dea kalau Diah sudah meninggal bu?”
Bu Siti : “Maafkan ibu, ibu gak mau membuatmu sedih nak”
Dea     : “Hiks... hiks... Aku gak percaya ini bu. Aku belum bisa mengikhlasannya”
Bu Siti : “Bisa tidak bisa kamu harus mengikhlasannya nak, kamu gak mau kan kalau Diah  gak tenang di dunia barunya?”
Dea     : “Gak bu”
Bu Siti : “Nah kalau begitu, berhentilah menangis, ikhlaskanlah kepergiannya. Pasti ada    hikmahnya dibalik semua ini nak”
Dea     : “Iya bu, kalau begitu apakah ibu tahu dimana tempat pemakaman Diah?”
Bu Siti : “Ibu tahu nak, kamu mau pergi kesana?
Dea     : “Iya aku mau bu”
Bu Siti : “Baiklah ibu akan mengantarmu kesana sekarang J

Sesampainya di tempat pemakamannya Diah, tanpa diperintah oleh Dea air matanya melesak keluar dengan derasnya saat melihat tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.
Dea     : “Diah ini aku Dea. Kamu... kamu kenapa berbohong kepadaku Diah? (menangis) aku gak bisa percaya ini! Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Banyak orang di dunia ini, tapi kenapa harus kamu? Kenapa kamu yang harus menderita karena penyakit itu? Kenapa diah? Kenapa? Walaupun begitu kamu tetap sahabatku, aku gak akan melupakanmu. Terima kasih karena kamu masih mau mengingatku di saat-saat terakhirmu dan terima kasih karena kamu mau mendonorkan matamu untukku. Seperti yang kamu tulis di surat, aku akan menjaga mata ini dengan baik sebaik aku menjaga diriku. Yang harus tetap kamu ingat Diah, dimanapun kamu berada, bagaimanapun kondisinya, saat apapun waktunya kamu tetap menjadi sahabatku. Walaupun faktanya sekarang kita berbeda dunia. Aku sayang kamu juga Diah”

Bu siti yang melihatnya hanya tersenyum pahit atas ucapan yang keluar dari bibir anaknya. Bu siti tidak menyangka jika anak semata wayangnya begitu menyayangi anak dari mejikannya, ia bersyukur bahwa disisa hidup Diah,ia masih memikirkaan nasib anaknya.
seusai mengunjungi makam Diah, bu Siti dan Dea pun bergegas untuk pulang ke rumahnya dan memulai kehidupan baru Dea tanpa seorang sahabatnya. Walaupun menyakitkan, tapi Dea sadar setiap ada pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Dan Dea berjanji, kalau ia akan menjaga matanya seperti ia menjaga Diah disaat Diah masih hidup.