Di pagi hari yang cerah di sebuah kompleks
perumahan di daerah Bogor, terdapat sebuah keluarga yang baru menempati rumah
barunya.
Diah : “Ahh akhirnya sampai juga!”
Papah : “Nah,
karena sudah sampai. Sekarang bawalah barang-barangmu ke kamar di sebelah sana,
itu akan menjadi kamar barumu!” (sambil menunjuk ke arah kamar baru yang akan
ditempati Diah)
Diah : “Aku malas pah, nanti
sajalah mamah yang bawa ke kamarku, aku...”
Tiba-tiba, handphone papah berbunyi. *kring
kring*
Papah : “Sebentar ya nak, papah ada telepon.”
Selagi papah menerima telepon, mamah datang
dan membantu Diah merapihkan barang-barangnya.
Mamah : “Ayo kita bawa barangmu ke kamar”
Diah : “Gak mauuu, aku capek mah! Lebih baik mamah
saja yang bawa!”
Mamah : “Jadilah anak yang baik nak, bawalah barang-barangmu sendiri, mamah akan membantumu untuk
merapihkannya nak?”
Diah : “Iya iyaa” (berjalan malas menuju kamar)
Saat di kamar…
Mamah : “Hallo... Ah iya iya... Saya akan segera
datang...!” (mematikan handphone) “Maaf nak, sepertinya mamah tidak bisa membantumu
merapihkan barang-barangmu, tiba-tiba ada urusan mendadak yang penting
dan mengharuskan mamah pergi ke butik sekarang! Maaf ya nak, kamu harus
merapihkannya sendiri”
Diah : “Ehmm... iyaa -_-“
Mamah : “Jaga dirimu baik-baik, mamah pergi dulu”
Saat mamah ingin membuka pintu kamar, tiba-tiba
muncullah papah dari luar kamar
menghampiri mereka berdua.
Papah : “Kamu mau kemana mah?”
Mamah : “Aku harus ke butik sekarang pah, ada urusan
mendadak”
Papah : “Lebih baik kita berangkat bersama, aku
juga ingin pergi ke kantor sekarang”
Mamah : “Baiklah”
Papah : “Nak, papah dan mamah pergi sebentar ya.
Kami ada urusan mendadak, baik-baiklah di rumah”
Diah : “Iya -_-“
Sepeninggalan orang tuanya, Diah tetap diam
di kamar tanpa melakukan apapun, pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan pun ia
tinggalkan. Diah merasa kecewa kepada orang tuanya, dia tidak pernah mendapat
kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya.
Diah :
“Aisshh! Kenapa sih, mamah sama papah gak pernah ada buat aku? Mereka selalu
saja memikirkan pekerjaannya! Masalah kantornya! Kapan mereka ada buat aku?”
Usai berbicara seperti itu Diah merasakan
sakit yang luar biasa di kepalanya, ia merasa sangat pusing. Karena rasa
sakitnya yang tidak dapat ditahan ia pun pingsan di dalam kamarnya.
Keesokan harinya saat Diah sudah sadarkan
diri, ia langsung melesat ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya lalu kembali
ke kamarnya untuk beristirahat lagi.
Diah : “Sebegitu sakitnya kah? Sampai aku pingsan dan bangun pada pagi
hari?”
Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamar
diah. *Tokk tokk tokk*
Papah : “Nak, buka pintunya. Papah membawa seseorang
untuk kamu”
Diah : (membuka pintu) “Ada apa
pah?”
Papah : “ Papah membawa seseorang untukmu”
Diah : “Ini siapa pah?”
Papah : “Ini
adalah bu Siti, ia akan menjadi orang yang menjagamu saat papah dan mamah
sedang bekerja atau sedang tidak ada di rumah.”
Bu Siti : “Selamat pagi non Diah, nama saya Siti”
Papah :”
Ia juga memiliki anak perempuan yang seumuran denganmu, jadi berakrablah dengan
mereka”
Diah : “Oh yaudah, udah kan? Terus apa lagi?”
Papah : “Sopanlah sedikit nak!”
Diah : “Baiklah”
Bu Siti : “Tak apa tuan, saya mengerti kok”
Papah : “Kalau
begitu, sekarang papah akan pergi ke kantor bersama mamah. Baik-baiklah dengan
bu Siti,
bu Siti saya tinggal ya”
Bu Siti : “Baik tuan”
Diah : “Hati-hati papah”
Papah : “Iya”
Tak lama setelah papah pergi ke kantor
bersama mamah, Diah kembali ke posisinya semula, yaitu berbaring.
Diah : “Sekarang ibu boleh keluar”
Bu Siti : “Non tidak ingin ibu buatkan
sesuatu? Non kan belum sarapan pagi ini?”
Diah : “Oh iya, tolong
buatkan aku milkshake saja bu”
Bu Siti : “Baiklah non” (berjalan keluar dari kamar Diah)
Keesokan harinya saat Diah sedang menikmati
udara pagi hari di halaman belakang rumahnya, tiba-tiba ia melihat seorang anak
perempuan yang sedang melukis. Ia memerhatikan gerak-gerik tangan anak perempuan
itu, sampai akhirnya ia duduk di sebelah anak
perempuan itu.
Diah : “Gambar apa anak ini? Gak jelas banget gambarnya, abstrak!”
(bergumam)
Dea : “Oh! Siapa itu?” (mencari-cari sumber suara tersebut)
Diah : “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!”
Dea : “Oh maaf, kamu anak pemilik rumah ini ya?”
Diah : “Iya, kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada disini?”
Dea : “Aku Dea, aku anaknya bu Siti”
Diah : “Oh anaknya bu Siti toh, kamu sedang melukis apa?”
Dea : “Aku sedang melukis suasana hatiku pagi ini, kenapa?”
Diah :
“Tak apa, hanya saja... Lukisanmu sedikit berantakan, gak liat apa kalau di
sisi ini ada warna yang tercampur?”
Dea : “Benarkah? Maaf, tapi aku tidak dapat melihat, jadi aku tak
mengetahuinya”
Diah :”Hah? Jadi kamu buta?”
Dea : “Iya”
Diah :
“Kenapa papah nyuruh aku akrab sama orang buta sih, kayak gak ada yang lain aja?” (berguman)
Dea : “Kamu sedang apa disini?”
Diah : “Aku hanya menikmati udara pagi saja,tapi malah ada kamu
disini”
Dea : “Maaf, tapi aku tak akan mengganggumu”
Diah :
“Ya iyalah, mana mungkin orang buta bisa menggangguku? Aneh-aneh sa... Arggh!” (kesakitan sambil memegang
kepala)
Dea : “Kamu kenapa?”
Diah : “Aku tak apa-apa, hanya pusing saja”
Dea : “Sini, biar aku antar kamu ke kamar” (memegang pundak Diah)
Diah :
“Tidak usah! (mengelak) Mana
mungkin orang buta sepertimu dapat menolongku! Aku akan pergi sendiri” (pergi
ke kamar)
Dea : “Baiklah jika itu maumu”
Berhari-hari Diah dan Dea melewati harinya
bersama, jika Diah sendiri di rumah pasti bu Siti dan Dea akan menemaninya. Semakin
hari perlakuan Diah ke Dea semakin baik, yang dulu Diah sering menghina Dea
karena kekurangannya lalu meninggalkannya sendiri, tapi sekarang Diah selalu
bersama Dea dimanapun mereka berada.
Diah : “Hari ini kamu melukis apa?”
Dea : “Entahlah, aku bingung”
Diah : “Kamu bingung kenapa?”
Dea :
“Aku dengar ada yang mengadakan perlombaan melukis, syarat utama untuk mengikutinya
adalah tidak buta warna, sedangkan aku? Bukan buta warna lagi yang kurasakan,
tapi buta kehidupan!”
Diah : “Ih, kamu gak boleh ngomong kayak gitu!”
Dea : “Memang kenyataanya kayak gitu kok”
Diah : “Iya sih, kok kamu bisa sama sih pemikirannya sama aku?”
Dea : “Kokk sama?”
Diah :
“Iya sama, kita itu sama-sama lebih memilih menyerah duluan daripada mencoba
dulu. Padahalkan sama yang terjadi nanti belum tentu sama dengan harapan atau
omongan kita. Contohnya aku, dulu aku berfikir kalau akau ini bakal bahagia
jika papah dan mamah ku seorang pengusaha. Aku berfikir aku bisa setiap hari
bersama mereka, tapi nyatanya? Mereka tidak pernah memikirkanku ataupun peduli
denganku. Mereka hanya memikirkan pekerjaan mereka, mereka gak sayang sama aku!”
Dea :
“Kamu gak boleh berfikir kayak gitu diah, mereka bekerja juga kan untuk
membesarkanmu, untuk kehidupanmu juga. Kamu harus yakin kalau mereka itu memang
bener-bener sayang sama kamu walaupun mereka terus meninggalkanmu demi
pekerjaan mereka J”
Diah :
“Iyaa. Ihh kok jadi ngomongin aku sih? Cari topik lain. Oh ya memang kapan
perlombaannya dilaksanakan?”
Dea : “Hehe iya juga ya, maaf deh. Nanti, tanggal 20 maret”
Diah : “Emm gitu ya? Kamu berdoa aja dari sekarang, pasti kamu bisa ikut lomba itu kok!”
Dea : “Caranya gimana?”
Diah :
“Aku gak tau, tapi aku yakin semua
masalah pasti ada jalan keluarnya! Jadi jangan putus asa oke!”
Dea : “Oke!”
Diah : “Itu
baru sahabatku J”
Tiba-tiba…
Bu Siti : “Non Diah, makan siang sudah siaaap!”
Diah : “Iya bu, ayo Dea kita makan siang”
Saat
sore tiba, tiba-tiba Diah merasakan pusing lagi. Tapi kali ini ditambah dengan
keluarnya darah dari kedua lubang hidung Diah, Diah yang merasa panik pun
dengan cepat mengambil kain yang ada di dekatnya.
Diah : “Arggh!! Kenapa iniii?” (kesakitan)
Dengan nekat, ia pun pergi keluar rumah dan
pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya ke dokter dimas, dokter dimas
adalah dokter kepercayaan orang tuanya, atau biasa disebut dokter keluarga.
Setelah selesai memeriksa keadaan Diah.
Dokter Dimas :
“Kenapa bisa terjadi seperti ini Diah? Sudah berapa lama kamu seperti ini?” (panik)
Diah : “Diah juga gak tahu dok kenapa Diah
bisa kayak gini, tapi Diah ngerasain ini udah dari beberapa bulan yang lalu
yang lalu dok”
Dokter Dimas :
“Tapi kenapa kamu baru memeriksanya sekarang?’
Diah : “Karena Diah
fikir ini hanya pusing biasa, jadi Diah diemin aja deh dok”
Dokter Dimas :
“Saya harus berbicara ke orang tuamu tentang masalah ini”
Diah : “Memang ada
apa dengan Diah dok? Papah dan mamah sedang keluar kota”
Dokter Dimas :
“Maaf, tapi saya hanya bisa membicarakan penyakitmu ini ke orang tuamu saja, tidak
terhadapmu”
Diah : “Hah? apa dok? Penyakit? Memangnya
Diah punya penyakit apa dok? Kasih tahu Diah dok!”
Dokter Dimas :
“Saya ingin memberi tahu ini kepada mu, tapi saya tidak janji jika ini tak akan
membuatmu syok!”
Diah : “Bicara saja
dok, Diah siap menerimanya apapun yang terjadi”
Dokter Dimas :
“Kamu menderita kanker otak stadium akhir nak, diperkirakan umurmu hanya akan
bertahan sampai akhir bulan ini saja”
Diah : “Apa?
Kanker otak dok?”
Dokter Dimas :
“Iya,dan lebik baik kamu menceritakan hal ini kepada orang tuamu”
Diah : “Jangan! Jangan dok, Diah mohon.
Usahakan yang tahu tentang penyakit ini hanya Diah dan dokter saja,Diah gak mau
bikin papah sama mamah khawatir”
Dokter Dimas :”Baiklah
kalau begitu, tapi kau harus meminum obat yang telah ku siapkan” (memberikan
resep obat).
Dari hari ke hari kondisi tubuh Diah
semakin menurun, badanya tidak seperti dulu lagi. Wajahnya menjadi tirus,dan
kulitnya semakin pucat.
Disaat kondisi rumahnya sepi, ia menyempatkan
diri untuk menangis. Karena ini adalah kesempatan Diah untuk mengeluarkan semua
kesediahannya, karena Diah tidak mau terlihat sedih di depan kedua orang
tuanya,bu Siti apalagi Dea.
Ia tidak ingin ada orang yang tahu bahwa
umurnya sudah tidak lama lagi, apalagi menangisi kepergiannya yang sebentar
lagi akan datang. Disela tangisnya, ia menyempatnkan untuk menulis surat kepada
orang tuanya dan Dea.
“Ya tuhan, aku tahu umurku tidak panjang lagi, tapi aku
mohon, aku hanya ingin orang-orang yang aku sayangi tersenyum dan bahagia walau
bahagia yang sederhana. Aku tidak ingin mereka menangis hanya karena melihatku seperti
ini...”
Tak lama kemudian, ada seseorang yang
memanggil Diah di depan pintu kamarnya, yaitu Dea.
Dea : “Diah, kita ke taman yukk!”
Diah : “Emm? Baiklah, oh iya sekalian aku juga ingin menunjukan ponsel
baruku ke kamu”
Dea : “Wahh, yasudah cepat”
Diah : “Iyaa”
Saat di taman...
Diah : “Duduklah disini” (duduk)
Dea :
“Kamu kenapa sih hari ini? Kok gak kaya biasanya? Suara kamu jadi serak gitu, kamu
habis nangis ya? Cerita dong ke aku! Kamu ada masalah apa?’
Diah : “Aku gak nangis kok, cuma aku lagi sedikit flu aja”
Dea : “Oh, kamu gak bohong kan sama aku?”
Diah :
“Emm Dea, apa yang bakal kamu lakukan kalau orang terdekat kamu pergi? Emm, misalnya
aku?”
Dea :
“Mungkin aku akan sedih, bisa-bisa aku akan menangis, kenapa kamu nanya kayak
gitu ke aku? Tumben banget?”
Diah : “ Iseng aja kok, tapi gimana kalau itu terjadi beneran?”
Dea : “Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti? Memangnya kamu mau
ninggalin aku?”
Diah : “Gak, gak apa apa kok Dea”
Dea : “Aku gak yakin, kamu pasti nyembunyiin sesuatu dari aku!”
Diah : “Enggak kokk,”
Dea : “Kamu yakin?”
Diah : “Emm... Jika suatu saat kita berpisah, aku harap kamu gak akan
ngelupain aku. Aku mau nanti kamu punya temen yang lebih baik dari aku, yang
bisa menjaga kamu lebih dari akku menjagamu, kamu harus janji sama aku, kamu
gak akan pernah mengeluarkan air mata kamu hanya buat sesuatu masalah kecil, janji?”
Dea : “Janji!” (menautkan jari kelingking)
Diah : “Kita foto yuk Dea,”
Dea : “Boleh J”
Diah : “Satu... Dua... Tiga...!” *klik*
Dea : “Bagus gak?”
Diah : “Bagus banget!” (sambil meneteskan air mata)
Seketika suasana menjadi hening…
Diah : (menghapus air mata) “Jika kamu kangen sama aku, tutup matamu lalu ingatlah aku. Aku pasti
ada di sisimu”
Dea : “Iya J”
Diah : “Udah mau malam nih, pulang yuk!”
Dea : “Yaudah ayo!”
Malam pun tiba, Diah masuk ke dalam
kamarnya untuk bergegas tidur. Tapi belum juga ia menginjakkan kakinya di lantai
kamarnya, ia sudah diserang rasa pusing yang sangat sakit, dan akhirnya ia pun pingsan di depan pintu
kamarnya. Bu Siti yang melihat kejadian itu buru-buru memanggil ambulans dan
menelpon kedua orang tua Diah, ia sangat panik.
Bu Siti : “Non, non Diah bangun non” (panik)
Saat di rumah sakit…
Tak lama, setelah dapat telepon dari bu Siti,
orang tua Diah datang dengan wajah cemas, bahkan sang mamah sudah meneteskan
air matanya. Tak lama dokter dimas pun keluar dari ruang UGD.
Mamah : “Bagaimana keadaannya
dok?”
Dokter Dimas :
“Maaf, tapi saya sudah bekerja semaksimal mungkin. Kita boleh berencana tapi
tuhan yang memastikan, Diah tidak dapat diselamatkan”
Papah : “Kenapa bisa? Memang
ia kenapa dok? Apa yang terjadi dengan dia dok?”
Dokter Dimas :
“Diah mengidap penyakit kanker otak
sejak beberapa bulan yang lalu, maafkan saya yang tidak memberi tahu kalian
tentang hal ini, karena Diah meminta
saya agar merahasiakannya. Dan ini Diah sudah menitipkan surat untuuk kalian.”
Mamah dan Papah pun membaca surat dari Diah
yang diberi dokter untuk mereka, surat itu berisi:
“Papah mamah ini Diah, Diah anak papah dan mamah.
Diah yang selalu melawan omongan papah sama mamah
Diah yang marah-marah terus sama papah dan mamah
Mungkin saat papah dan mamah baca surat ini
Diah udah gak ada di sisi kalian
Diah udah pergi jauh dari kalian
Diah udah tenang walau jauh dari kalian
Diah udah ada di surga pah mah
Papah mamah, maafin semua kesalahan Diah ya
Maafin semua kata-kata yang keluar dari bibir Diah
Diah tau papah sama mamah pasti pernah merasa marah sama
Diah Bahkan benci sama Diah, atas semua kelakuan Diah
Nah mulai besok gak akan ada lagi orang yang selalu
merengek ke papah dan mamah
Gak akan ada lagi yang ganggu papah sama mamah saat
kerja
Gak akan ada lagi orang yang merepotkan papah dan mamah
Dan gak akan ada lagi orang yang selalu marah karena
pekerjaan papah dan mamah
pernah diah berfikir untuk membenci papah dan mamah,
karena kalian melupakan diah demi pekerjaan kalian. Tapi dea mengingatkan diah,
dea bilang papah dan mama bekerja untuk membesarkanku, untuk kehidupanku juga.
diah harus yakin kalau papah dan mamah itu memang bener-bener sayang sama diah
walaupun mereka terus meninggalkan diah demi pekerjaan papah san mama. Maka
mulai saat itu diahpun memutuskan untuk terus sayang kepada papah dan mama
tanpa ada fikiran untuk membenci papah dan mama J
Terima kasih atas semua kasih sayang kalian
Terima kasih karena telah mendidikku
Terima kasih karena telah mau membesarkanku hingga saat
ini
Dan terima kasih mamah karena mamah mau melahirkanku ke dunia
yang indah ini
Mungkin kepergianku ini memang tiba-tiba Tapi aku telah
merencanakan semua
Semua hal yang akan mamah dan papah lakukan setelah aku
tiada
Dan semua hal yang telah aku inginkan terjadi saat aku
pergi
Saat ini aku hanya ingin mengutarakan permintaan
trerakhirku kepada kalian
Aku ingin saat aku telah tiada papah dan mamah mau
mendonorkan mataku ini untuk Dea
Aku mau Dea merasakan melihat indahnya dunia lagi
Dan ku harap papah dan mamah tidak memberi tahu tentang
hal ini kepada Dea
Di samping itu aku, aku juga telah menyiapkan surat
untuk Dea
Aku ingin papah dan mamah memberikan surat itu kepada Dea
Kuharap papah dan mamah memberikannya disaat Dea dapat
melihat lagi
Dan aku ingin Dea yang membacanya langsung dengan mata
yang telah kudonorkan
Papah mamah, terima kasih atas semuanya.
Maafkan aku yang tidak memberi tahu kalian tentang
penyakit ini
Aku tidak ingin kalian sedih dan khawatir dengan
kondisiku
Aku masih ingin melihat kalian tersenyum disisa hidupku
Aku harap dipemakaman aku nanti tidak ada satu orangpun yang
mengeluarkan setetespun airmatanya atas kepergianku
Aku tahu ini menyakitkan, Tapi aku mohon kalian bertahan
demi ketenanganku
Aku yakin suatu saat nanti kita dapat bertemu lagi
walaupun di dalam dunia yang berbeda
Aku harap kalian tidak menyesal karena telah menjadi
orang tua dari anak sepertiku
Aku sayang kallian
Diah”
Seusai membaca surat dari Diah, air mata mamah
bertambah deras mengingat semua kesalahannya yang telah menelantarkan anak
semata wayangnya demi sebuah pekerjaan.
Orang tua Diah dan bu Siti pun bergegas
pulang untuk menyiapkan acara pemakaman Diah yang akan dilaksanakan esok hari.
2 haru kemudian…
Sudah 2 hari Dea tidak mendengar kabar dari
Diah, ia sangat panik akan keadaan sahabatnya tersebut. Ia takut ada sesuatu
yang buruk menimpa Diah, dan akhirnya pun ia memutuskan untuk bertanya ke
ibunya.
Dea : “Ibu, apa ibu tahu kabar Diah sekarang?”
Bu Siti : “Memang ada apa nak?”
Dea :
“Tidak ada apa-apa bu, hanya saja aku merasa khawatir dengan kondisinya saat
ini. Ia tidak memberiku kabar sejak 2 hari yang lalu?”
Bu Siti :
“Sudah tak usah kau fikirkan, mungkin ia sedang sibuk. Lebih baik kita bicarakan
soal operasi mata yang akan kamu lakukan besok”
Dea : “Operasi mata? Memang sudah ada yang mendonorkan matanya
untukku bu?”
Bu Siti : “Sudah ada nak, dan ia adalah orang baik”
Dea :
“Wah, kalau begitu bagus bu, jam berapa aku akan operasi? Aku sudah tidak sabar
ingin melihat lagi”
Bu Siti : “Besok jam 9 pagi nak”
Dea :
“Wah, kalau begini pasti aku tak akan kesusahan lagi untuk melukis, tanpa harus
diprotes sama Diah karena ada warna yang tercampur J”
Bu Siti : “Iya” (meneteskan air matanya)
Seminggu kemudian di area perlombaan
melukis…
Dea : “Bu tolong doa kan Dea ya, agar Dea menang”
Bu Siti : “Iya nak, ibu pasti mendoakanmu”
Dea :
“Aku harus memenangkan perlombaan ini, aku ingin menunjukkan kepada Diah kalau
aku ini pelukis yang baik”
Dengan bersungguh-sungguh Dea mengikuti
perlombaan itu, ia ingin Diah melihat lukisan pertamanya usai operasi mata.
2 hari kemudian…
Inilah saat-saat yang ditunggu oleh Dea, hari
ini adalah hari pengumuman pemenang lomba melukis kemarin. Dan tidak disangka
memang pemenangnya adalah Dea, Dea berteriak bahagia menghampiri ibunya di
dapur.
Dea : ” Buuu, dea menang bu dea menang!” (memeluk ibunya dengan bahagia)
Bu Siti
: ”Alhamdulilah nak, ternyata kerja kerasmu tidak sia-sia” (membalas pelukan anaknya)
Dea : ”Iya bu, bu diah mana ya? Aku ingin memberitahunya atas
kemenanganku ini” (melepas pelukan
ibunya dan menatap ibunya
dengan serius)
Bu Siti : ”Diah emm, diaah...” (bingung memikirkan jawaban dari pertanyaan
anaknya)
Dea : ”Iya Diah kemana bu? Diah ada dimana?”
Bu Siti : “Lebih baik kau tanyakan saja langsung pada
orang tua Diah,
biar mereka yang menjelaskannya”
Ddea : “Kok gitu bu? Emang kenapa? Ada apa sama Diah bu?”
Bu Siti : “Pergilah ke rumahnya nak”
Bu
siti tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya, akhirnya Dea pergi meninggalkan
ibunya dan mencari Diah, dan Dea menghampiri mamahnya Diah yang sedang duduk di
ruang tamu sambil meminum segelas teh hangat.
Dea : “Permisi nyonya”
Mamah : “Ada apa Dea?”
Dea : “Aku ingin tanya soal keadaan Diah”
Mamah : “Boleh, oh iya bagaimana hasilnya? Apa kamu
menang?” (mengalihkan pembicaraan)
Dea : “Alhamdulillah nyonya, saya menang J”
Mamah : “Kamu hebat Dea”
Dea : “Nyonya, bagaimana keadaan Diah sekarang? Apa sekarang Diah sedang sakit? Aku tidak mendapatkan
kabar darinya sejak 1 minggu yang lalu”
Mamah : “Diah... Diah menitipkan surat untukmu. Ini”
( memberikan surat)
Dea : “Oh memangnya Diah sedang kemana bu? Tumben sekali ia menulis
surat?"
Mamah : “Diah sedang pergi nak”
Dea : “Pergi? Sejak kapan dia pergi? Kok gak
bilang-bilang ke Dea?
Dasar Diah -_-“
Mamah : “Bacalah dulu surat ini di rumah, baru kau tahu kemana dia pergi”
Dea : “Baiklah, kalau begitu saya permisi.
Terima kasih bu”
Sesampainya di rumah, dea pun langsung
membaca surat yang dibuat diah untuknya. (membaca surat)
“Hai dea! Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik aja
sekarang.
Maafkan aku dea karena aku tidak berterus terang ke kamu
tentang penyakitku ini.
Sebenarnya selama ini aku sudah mengidap penyakit kanker
otak.
Dan dokter memvonisku bahwa aku hanya bisa bertahan
sampai akhir bulan ini saja.
Maafkan aku yang tidak bisa bermain lagi sama kamu
Tapi aku sangat berterima kasih kepadamu dan bu siti
karena masih mau berakrab denganku yang jelas-jelas jahat kepadamu pada awal
pertemuan.
Aku berterima kasih padamu karena mengingatkanku untuk
tidak membenci kedua orang tuaku, aku akan selalu mengingat kata-katamu dea.
Oh iya, bagaimana rasanya melihat mmenggunakan mataku?
Enak kan?
Aku yakin saat kamu melihat tulisanku di atas kamu pasti
kaget.
Ya aku sengaja mendonorkan mataku untukmu, aku ingin
kamu bisa melihat lagi
Melihat indahnya dunia dan dapat menjadi pelukis yang
hebat.
Bagaimana dengan lomba melukis yang kamu ikuti?
Aku yakin kamu pasti menang!
Karena dari siinipun aku selalu mendoakanmu agar menjadi
yang terbaik J.
Dea, aku ingin kamu menjaga mataku dengan baik
Aku ingin kau selalu merasakan adanya diriku walaupun
sebenarnya jarak di antara kita sangatlah jauh deaaa
Nah selain itu aku juga telah mencetak foto kita
Kamu ingat kan saat kita berfoto di taman? Kau pasti
ingat
Karena saat itu adalah hari terakhirku bertemu denganmu
Dan hari terakhirku hidup di dunia ini
Itu adalah satu-satunya foto yang kita punya, aku mau
kamu menjaga foto itu sama dengan menjaga mataku.
Kamu ingat kata-kata yang pernah aku katakan kepadamu?
Ingatlah, jika kamu kangen sama aku,tutup matamu lalu
ingatlah aku. Aku pasti ada disisimu
Jangan sedih ya hanya karena aku pergi meninggalkanmu,
aku gak mau wajahmu menjadi jelek hanya karena menangisiku
Terima kasih karena kamu mau jadi sahabatku walau dalam
waktu yang sebentar dea.
Aku sayang kamu J
Diah”
Air mata Dea tak dapat dibendung lagi, ia sangat
tidak dapat mempercayakan ini. Ia
tidak menyangka kalau selama ini Diah yang dia kenal sebagai perempuan yang
riang ternyata memendam rasa sakit yang sangat parah karena penyakitnya itu dan
pergi meninggalkan dirinya begitu cepat.
Bu Siti yang menyadari perubahan suasana
hati anaknya seusai membaca surat dari Diah pun langsung menghampiri Dea untuk menenangkannya.
Bu Siti :
“Sudah nak ikhlaskan saja”
Dea : “Kenapa ibu gak bilang ke Dea kalau Diah sudah meninggal bu?”
Bu Siti :
“Maafkan ibu, ibu gak mau membuatmu sedih nak”
Dea : “Hiks... hiks... Aku gak percaya ini bu. Aku belum bisa
mengikhlasannya”
Bu Siti :
“Bisa tidak bisa kamu harus mengikhlasannya nak, kamu gak mau kan kalau Diah gak tenang di dunia barunya?”
Dea : “Gak bu”
Bu Siti :
“Nah kalau begitu, berhentilah menangis, ikhlaskanlah kepergiannya. Pasti ada hikmahnya dibalik semua ini nak”
Dea : “Iya bu, kalau begitu apakah ibu tahu dimana tempat pemakaman Diah?”
Bu Siti :
“Ibu tahu nak, kamu mau pergi kesana?
Dea : “Iya aku mau bu”
Bu Siti :
“Baiklah ibu akan mengantarmu kesana sekarang J”
Sesampainya di tempat pemakamannya Diah, tanpa diperintah oleh Dea air matanya melesak keluar dengan
derasnya saat melihat tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.
Dea : “Diah ini aku Dea.
Kamu... kamu kenapa berbohong kepadaku Diah? (menangis) aku gak bisa percaya ini! Kenapa
kamu gak jujur aja sama aku? Banyak orang di dunia ini, tapi kenapa harus kamu?
Kenapa kamu yang harus menderita karena penyakit itu? Kenapa diah? Kenapa? Walaupun
begitu kamu tetap sahabatku, aku gak akan melupakanmu. Terima kasih karena kamu
masih mau mengingatku di saat-saat terakhirmu dan terima kasih karena kamu mau
mendonorkan matamu untukku. Seperti yang kamu tulis di surat, aku akan menjaga
mata ini dengan baik sebaik aku menjaga diriku. Yang harus tetap kamu ingat Diah, dimanapun kamu berada, bagaimanapun
kondisinya, saat apapun waktunya kamu tetap menjadi sahabatku. Walaupun
faktanya sekarang kita berbeda dunia. Aku sayang kamu juga Diah”
Bu siti yang melihatnya hanya tersenyum
pahit atas ucapan yang keluar dari bibir anaknya. Bu siti tidak menyangka jika
anak semata wayangnya begitu menyayangi anak dari mejikannya, ia bersyukur
bahwa disisa hidup Diah,ia
masih memikirkaan nasib anaknya.
seusai mengunjungi makam Diah, bu Siti dan Dea pun bergegas untuk pulang ke rumahnya dan memulai kehidupan baru Dea tanpa seorang sahabatnya. Walaupun menyakitkan, tapi Dea sadar setiap ada pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Dan Dea berjanji, kalau ia akan menjaga matanya seperti ia menjaga Diah disaat Diah masih hidup.